you belong with me (hero fiennes-tiffin fanfiction)

Cast : 
🌻 Hero Fiennes-Tiffin as himself
🌻 Reader as Hazella Grey 
🌻 Owen Teague as himself

story based on Taylor Swift's song You Belong With Me. Enjoy!

New York, Summer 2020

Hero's POV

"Hero."

Aku terperanjat kaget saat merasakan tangan seseorang menyentuh pundakku. Segera kutaruh buku novel karya Nicholas Sparks yang berjudul The Notebook yang baru saja sepenggal kata kubaca kedalam tas punggung berwarna hitam yang kutaruh dibawah kakiku.

"Hero. Kau darimana saja? Aku berkeliling mencarimu sejak pelajaran Mrs. Wood selesai."

Aku menoleh kearahnya yang sekarang duduk manis disampingku. "Aku disini sejak kelas bahasa Perancis selesai, Hazz." jawabku. Hazel memutar kedua bola matanya lalu berdehem menatap mataku. Ada apa dengannya? Tampaknya dia begitu senang hari ini.

"Guess, what? Owen Teague dari kelas Biologi mengajakku untuk pergi makan malam dengannya jam 7 nanti."

See. Tebakanku benar ternyata. Si brengsek Teague mengajak Hazel berkencan malam ini. Sialan. Apa yang sedang direncanakan playboy cap kuda terbang itu terhadap sahabatku kali ini?

"Lalu? Apa kau ingin pergi bersamanya?"

Hazel menganggukan kepalanya dengan semangat. "Sore ini temani aku pergi belanja baju, ya. Rasanya, tak ada pakaian yang pantas untuk kupakai nanti malam."

"Kau punya dua lemari besar, Hazz. Apa itu tidak cukup?"

"Tidak. Aku ingin tampil sempurna dihadapan Owen malam ini. Kau tahukan, bahwa aku sudah sangat lama menyukainya."

Jika kalian berasumsi ini adalah kisah cinta romantis antara aku dan Hazella, kalian salah besar. Ini memang kisah cinta, tapi yang cinta hanyalah aku sendiri dan Hazel tidak. Ya, aku sudah menyukai Hazel sejak kami duduk dibangku sekolah menengah pertama hingga sekarang.

Beruntung, Hazel tidak pernah mengetahui perasaanku terhadapnya selama ini karena setelah kami menginjak bangku sekolah menengah atas Hazel bercerita kepadaku bahwa ia menyukai Owen Teague. Walaupun ia tahu Owen Teague adalah playboy yang hobinya bermain perempuan ia tetap saja menyukai si bodoh Teague.

"Temani aku yaa, Hero. Hanya kau sahabat yang aku punya." Hazel menggoyang-goyangkan lenganku dan ia menunjukan puppy eyes andalannya.

"Iya, iya." sahutku tidak semangat.

"Yes. Thank you Hero Fiennes-Tiffin." ucap Hazel lalu reflek memelukku. "Kau memang sahabat terbaikku. Aku ke perpustakaan dulu ya. Sampai jumpa nanti sore."

Selepas berlalunya Hazel, aku mematung melihat langkah dirinya dari belakang yang semakin jauh dari taman ini dan menghela napas berat. Beginilah nasib jatuh cinta diam-diam dengan sahabat sendiri. Jatuh cintanya sendirian, sakitnya juga sendirian. Poor me.

🌻🌻🌻

"Apa dress ini cocok untukku?" tanya Hazel yang kini sedang didepan cermin saat mencoba mencocokan sebuah dress berwarna putih susu selutut dibadannya.

"Kau cantik memakai dress apapun, Hazz."

Hazel meerengut. "Hm.. Tidak jadi sajalah. Aku kelihatan gendut memakai ini."

Hazel kemudian mengembalikan dress putih tadi ketempatnya dan pergi mencari baju yang lain. Sekarang aku dan Hazel sedang berada disebuah pusat perbelanjaan terbesar di kota kami untuk berbelanja baju. Umm.. Ralat. Bukan kami, tapi Hazel. Sekarang kami sedang berada disalah satu toko baju yang brandnya cukup terkenal.

Dan demi neptunus, aku sekarang sedang kesusahan membawakan papper bag hasil belanjaan Hazel selama 4 jam. 4 JAM. Bayangkan saja kakiku rasanya ingin lepas menunggu Hazel memilih pakaian saat ini dari toko ke toko.

"Hazz, kurasa baju baju ini sudah lebih dari cukup." 
sahutku. Aku berusaha membujuk Hazel untuk segera membawa kami pulang.

"Tidak sampai aku dapatkan outfit terbaikku malam ini, Hero."

"Hey Hazz. Menurutku, memakai pakaian apapun kau masih tetap terlihat sangat cantik. Aku pikir ini terlalu berlebihan hanya untuk seorang Owen Teague. C'mon Hazz.. kau ini ingin pergi berkencan atau pergi ke pesta makan malam di White House?"

Hazel menghentikan langkahnya memilih baju dan berbalik badan kearahku.

"Hero, karena ini malam pertama aku berkencan dengan Owen, aku harus membuat dia terkesan padaku. Aku tidak ingin terlihat buruk dihadapannya."

"Tapi kau selalu cantik saat memakai pakaian apapun Hazz. Jika Teague menyukaimu, saat kau memakai baju apapun ia akan terkesan padamu. Percayalah."

Hazel diam. Apa kata-kataku ada yang salah? Kupikir tidak. Karena memang benar, dimataku Hazel akan selalu cantik dan seterusnya akan begitu. Bodoh jika si Teague tidak memandang seperti itu berarti ia buta.

"Cmon.. Mari kita makan pizza. Kau sepertinya lapar."

Setelah selesai makan dan melewati perdebatan yang panjang aku mengantar Hazel pulang. Sesampainya di kamar aku mengehempaskan badanku keatas kasur berukuran king size dan termenung melihat langit-langit kamar. Terbayang wajah cantik Hazel yang sedang tersenyum lebar kearahku.

"Cantik. Tapi sayang, dia hanya melihatku sebagai seorang sahabat."

Rasanya sakit mengetahui fakta bahwa orang yang selama ini kau sukai lebih memilih orang lain. Salahku juga, sih, tidak bergerak cepat seperti Teague.

Tapi jika diingat kembali, rasanya sudah sering aku melempar kode kepada Hazel namun ia saja yang memang tidak peka. Aku menggelengkan kepala dan kemudian berdiri untuk membersihkan diriku yang rasanya sudah bau matahari karna seharian menemani si tuan puteri.

Setelah mandi aku turun kebawah untuk mengambil makan malamku. Seperti makan malam sebelumnya, karena kesibukan orang tuaku dengan pekerjaannya aku sudah terbiasa makan malam sendiri di meja makan. Kesepian? Tentu saja.

Terlahir sebagai anak tunggal yang sedari kecil ditinggal mom dan dad keluar kota untuk urusan pekerjaan adalah hal yang biasa untukku.

So, jangan heran jika kalian bertemu aku di sekolah sedang berjalan sendirian seperti seorang sad boy. Karena memang lingkup pertemananku tidak sebanyak Hazel. Apalagi sejak tahun ketiga sekolah dasar aku berpindah-pindah sekolah karna urusan pekerjaan dad.

Ting. Satu pesan muncul diponselku. Tertera nama Hazel disana.

Hazz : Aku sedang berada didalam mobil bersama Owen sekarang 😭😭😭 aku gugup. Aku harus bagaimana Hero? 😭😭😭😭

Ya Tuhan, Hazz. Kenapa harus memberitahku, sih? Tidak tahu ya kalau hatiku ini sedang sakit. Okay, maaf, aku terlalu drama.

Me : Haha. Ajaklah calon pacarmu bernyanyi seperti yang sering kita lakukan. Good luck untuk kencanmu.

Aku menghembuskan napas setelah mengirim balasan pesan untuk Hazel, kemudian melahap cepat makan malamku lalu kembali keatas untuk mengerjakan tugas essai Sejarah yang diberikan Mr. Stanford siang ini. Semoga dengan tugas 1500 kata essai Sejarah dapat melupakan sedikit cerita tentang Hazel dan Owen yang sedang berkencan malam ini.

🌻🌻🌻

Entah ini hanya perasaanku saja atau memang Hazel tidak masuk sekolah hari ini? Apa ia sakit setelah berkencan dengan Teague tadi malam? 
Aku berjalan disepanjang koridor sekolah setelah menyelesaikan kelas Matematika.

Kulihat Teague dan antek-anteknya sedang menggoda para gadis yang lewat dihadapan mereka. Jangan tanya soal Teague. Dialah yang paling semangat menggoda para gadis. Setelah menaruh barangku, kukunci lokerku lalu aku berjalan berlalu melewati mereka.

"Hey, buddy."

Kurasakan tangan Teague melingkari leherku. Mau apalagi dia ini? Apa dia ingin mengajakku berkencan juga? -_-"

"Hey." jawabku cuek.

"Kau tahukan bahwa kemarin malam aku berkencan dengan sahabatmu."

"Ya."

"Dia tidak senakal yang kukira."

Aku menghentikan langkahku dan menatap tajam Teague.

"What do you mean?"

"Ya. Kau tahukan, maksudku. Kupikir selama bergaul denganmu dia mahir dalam berciuman."

Tanpa kusadari satu bogeman keras melayang ke wajah Teague yang menyebalkan itu. Kutarik bajunya dan kulayangkan satu bogeman dipipi kanannya. Anak-anak yang berlalu lalang berkumpul menyaksikan pertunjukan antara aku dan Teague tanpa ada yang berniat untuk melerai.

"APA MASALAHMU SIALAN?" sahut Teague tak terima.

Teague membalas pukulanku dengan lebih keras sehingga aku terhuyung kebelakang. Sial. Bibirku robek. Tak terima sahabatku dikatai seperti itu aku kemudian menendang Teague dan ia jatuh tersungkur. Aku mendekatinya.

"Jaga ucapanmu terhadap Hazel. Dia bukan gadis murahan." ucapku berang.

Dengan posisi yang sama, Teague memberikan senyuman miringnya yang seperti setan itu.

"Oh ya? Mungkin kau harus mencobanya sesekali."

Belum sempat aku meninju wajah Teague, badanku ditahan oleh seseorang. Itu adalah Mr. Stanford.

"Ada apa dengan kalian? Sudah cukup Mr. Tiffin. Kau tidak ingin nilai sejarahmu kubuat menjadi E bukan? Sudah. Mr. Teague silahkan pergi bersihkan wajahmu."

Sialan. Sialan. Sialan. Kalau bukan karena Mr. Stanford yang tiba-tiba datang melerai kami, akan kubuat wajah Teague habis ditanganku. Akupun berlalu meninggalkan Mr. Stanford yang sedang menolong Teague berdiri dengan perasaan campur aduk. Yang kupikirkan sekarang bagaimana keadaan Hazella sekarang. Mungkinkah ini yang menjadi penyebab ia tidak masuk sekolah hari ini.

Sekarang aku berada didepan pintu rumah Hazella. Rumahnya tampak sepi namun aku mendengar sayup-sayup suara televisi yang kuyakini Hazella pasti sedang didalam. Kuberanikan diri untuk mengetuk pintu berwarna putih itu.

Tok. Tok. Tok.

"Hazella. Ini aku. Hero."

Kudengar langkah kaki yang semakin dekat dan pintu terbuka menampilkan Hazella yang tampak kusut dengan wajahnya yang membengkak seperti terlihat menangis semalaman. Terkutuklah kau Teague.

"Hey. Masuklah."

Kulihat Hazella sedikit membereskan meja berukuran rendah yang diatasnya penuh dengan bungkus coklat serta sekotak ice cream yang tampaknya sudah setengah dimakan.

"Maaf, sedang berantakan. Aku sedang tidak enak badan." ujarnya saat melipat selimut bergambar princess aurora kesayangannya. "Duduklah."

"Hazella, are you okay?" tanyaku memegang pundaknya. Ia diam. Tak lama kudengar isak tangisnya lalu ia melebur dalam pelukanku.

"Dia jahat Hero. Aku menyesal tidak mendengarkan kata-katamu. Aku membencinya. Sungguh membencinya. Rasanya aku ingin memberi pukulan diwajah tampannya. Hueee.. Mama."

Tanpa sadar aku menarik sudut bibirku saat mendengar kata-kata Hazel barusan.

"Sudahlah, jangan menangis. Lagipula, aku sudah memberikannya pukulan sebelum kesini."

Hazel melepaskan pelukannya. Ia mengusap air matanya dan menatapku dengan wajah penuh tanda tanya.

"Why?" tanyanya dengan suara parau.

"Karna dia dengan kurang ajar menyentuh milikku."

"Huh?"

Sialan kau Hero. Oh tidak. Apa baru saja aku keceplosan mengatakan "milikku"? Sekarang ekspresi wajah Hazella menatapku dengan kebingungan. Lalu aku kaget, merasakan tangan Hazella menyetuh ujung sudut bibirku.

"Aw."

"Kau terluka Hero."

Iya. Begitupula dengan hatiku Hazz.

"I'm alright Hazz. Dia sudah kurang ajar menyentuh sahabatku. Teague sialan." jawabku dengan gugup. Ya Tuhan, semoga Hazella tidak sadar maksud perkataanku barusan.

"Kau tahu alasan kenapa Owen seperti itu padaku? Dia bilang, secara tidak sadar aku selalu membandingkan dirinya dengan dirimu saat kami sedang bersama."

"O-okay.. And then?"

"Lalu Owen bilang dia hanya menjadikan aku miliknya. Dan, umm.. ya.. itu, dia menciumku dengan paksa. Entah kenapa badanku menolaknya."

Terlihat sorot mata Hazel yang menahan malu saat menceritakan kejadiannya tadi malam. Aku berusaha menahan emosi untuk tidak kembali kesekolah dan menghabisi Owen Sialan Teague yang kelakuannya seperti iblis. Namun, tidak dipungkiri, ada sedikit rasa senang didalam hatiku saat mendengar cerita Hazel.

"Aku minta maaf, Hero."

"Tidak. Untuk apa kau minta maaf? Sudahlah Hazel. Lupakan saja. Jika dia berani macam-macam lagi denganmu, kupastikan anak itu akan hilang."

Hazel terkekeh. "Lucu sekali."

"Hero memang lucu."

"Sok imut."

Hazel melemparku dengan boneka kelincinya. Aku secara reflek menahan tangannya lalu tanpa sadar aku memajukan badanku dan perlahan melumat bibir ranum Hazel. Selama beberapa menit kami berpangutan, Hazel melepaskannya.

"Hero, kau..."

"Maafkan aku Hazel. Tapi, aku mencintaimu."

Wajah Hazel terkejut saat mendengar perkataanku.

"T-tapi.. Bagaimana mungkin?"

"Mungkin ini tidak masuk akal bagimu. Sumpah demi janggut Merlin, aku benar-benar menyukaimu sejak lama. Dan aku ti-"

Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, aku merasakan bibir Hazella menempel dibibirku. Aku membalas ciumannya. Apa ini pertanda ia menerima pernyataan perasaanku?

"Aku juga menyukaimu sejak kita berada di sekolah menengah pertama." ucapnya malu-malu.

"So? We're officially now Hazz?"

Hazella mengangguk. Aku menariknya kedalam pelukanku dan mencium puncak kepalanya.

"I love you Hazella Grey."

"I love you too, babe."

🌻🌻🌻


NOTED : 

Cerita ini juga aku publish di akun Wattpad-ku. Yang mau mampir silahkan yaa.. Jangan lupa setelah baca tekan tanda vote dan comment. Hehehehe. Thankyou all, happy reading! 

Komentar

Postingan Populer